Review Perkuliahan
Survei Rekayasa Lanjut Rangkaian Peranan Keilmuan Geodesi dan Geomatika dalam Pekerjaan Rekayasa (Studi Kasus: Pelabuhan Haita Namalatu, Pelauw, Maluku)
Oleh: Made Ditha Ary Sanjaya Mahasiswa Fasttrack 2015
PROGRAM PASCASARJANA TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016
Peran Keilmuan Geodesi Dalam Pembangunan Pelabuhan Haita Namalatu A. PENDAHULUAN Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku dengan jumlah pulau sebanyak 49 buah (yang terhuni 14 buah dan yang tidak dihuni 35 buah) memilikiluas wilayah ± 275.907 Km2, dan 95,8% adalah wilayah laut dan 4,2% adalah wilayah daratan. Dengan karakteristik wilayah yang didominasi oleh lautan maka kebijakan pembangunan daerah harus lebih diarahkan pada pengembangan berbasis kelautan/maritim. Infrastruktur pendukung perlu mendapat perhatian, termasuk sarana dan prasarana perhubungan sebagai upaya meningkatkan konektifitas dan aksesibilitas antar wilayah kepulauan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Gambar 1. Pelabuhan Haita Namalau (Sumber: Google Earth)
Dalam hal penyediaan sarana dan prasarana perhubungan, khususnya untuk infrastruksur kepelabuhanan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Maluku Tengah sesuai Rencana Strategis Tahun 2012 - 2017, telah membangun dan merencanakan berbagai fasilitas pelabuhan, diantaranya “Perencanaan Pengembangan Pelabuhan Laut Pelauw Kecamatan P. Haruku”, karena Pembangunan Pelabuhan Laut tersebut oleh Dinas Pekerjaan Umum Kab. Maluku Tengah pada Tahun 2004 tidak diawali dengan survei yang mendalam seperti lazimnya perencanaan sebuah pelabuhan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhanan. Sementara aktifitas jasa kepelabuhanan di Pelabuhan ini semakin meningkat seiring perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat. Arus kunjungan/keberangkatan kapal dengan berbagai ukuran dengan intensitas yang cukup tinggi. Sementara disisi lain keterbatasan ukuran dermaga yang ada telah mendorong Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika pada tahun 2015, melalui Program Pembangunan Prasarana dan Fasilitas Pelabuhan untuk melakukan Kegiatan Survey Investigasi Design (SID) dan Detail Engeering Design (DED) pelabuhan tersebut sebagai dasar tahapan kajian defenisi dalam rangka pembangunan pelabuhan, sehingga pelaksanaan pembangunan dapat lebih terencana dan terarah. B. MAKSUD DAN TUJUAN Tersedianya Dokumen Survey Investigasi Design (SID) dan Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Laut Pelauw, yang memenuhi standart perencanaan. 1. Menentukan Karakteristik Kapal (Type, Ukuran dan Kapasitas) yang dapat menyinggahi pelabuhan. 2. Memberikan Data dan Informasi yang lebih detail mengenai lokasi rencana pembagunan pelabuhan. 3. Memberikan gambaran teknis tentang syarat-syarat dan standarisasi perencanaan pembangunan pelabuhan. 4. Membuat desain teknis, detail konstruksi dan Perencanaan Anggaran Biaya Pembangunan Pelabuhan Laut Pelauw sesuai kebutuhan. C. URAIAN SINGKAT PEKERJAAN Dalam uraian di atas, adanya peembangunan pelabuhan Haita Namalatu membutuhkan rangkaian kegiatan pra konstruksi yaitu Survei Investigasi dan Design/SID serta pekerjaan DED. Uraian singkat mengenai lingkup pekerjaan tersebut adalah seperti berikut (Sumber: Dokumen Pilihan Perencanaan SID dan DED Pelabuhan Pelauw 2015): 1. a. Kajian b. Kajian c. Aspek d. Aspek e. Aspek
Dokumen Survey Investigasi dan Design (SID) meliputi : Teori melalui literature dan standarisasi pelabuhan; dan Analisa Studi, meliputi : Teknikal Ekonomi, Sosial dan Budaya operasional pelabuhan, jalur pelayaran, kebutuhan peralatan SBNP dan lain-lain). f. Aspek pembiayaan pembangunan (lahan, bahan baku konstruksi, pelaksanaan konstruksi, tenaga kerja, dan lain-lain). g. Data pendukung study literature, perundang-undangan; h. Penyajian Data Primer dan Data Sekunder dan hasil pengolahannya;
2. Detail Engineering Design (DED), meliputi : a. Data teknis Kawasan Pelabuhan meliputi : Fasilitas Pokok dan Fasilitas Penunjang. b. Untuk Fasilitas Perairan, menyajikan Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Laut Pelauw, full design (gambar-gambar layout dan gambar-gambar konstruksi). c. Untuk Fasilitas Daratan, menyajikan Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Laut. Dana pekerjaan ini bersumber dari APBD Kabupaten Maluku Tengah untuk Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp. 2.484.759.750, Dari dana tersebut, lingkup pekerjaan yang harus terselesaikan untuk Survey Investigasi Design (SID) dan Detail Engineering Detail (DED)meliputi : a. Persiapan b. Survey c. Pengolahan Data d. Penyusunan rancangan hasil survey investigasi e. Dokumen Survey Investigasi dan Design (SID) f. Dokumen Detail Engineering Design (DED) D. SPESIFIKASI TENAGA AHLI Berdasarkan uraian pekerjaan di atas, dapat dilihat peranan keilmuan geodesi dalam proses perencanaan pembangunan pelabuhan. Seperti halnya pekerjaan rekayasa lain, peranan geodesi khususnya dalam hal survei rekayasa lanjut sangat dibutuhkan untuk proses pembuatan DED. Peranan ini didukung oleh kemampuan yang komprehensif dari lulusan-lulusan geodesi untuk dapat melaksanakan pekerjaan rekayasa pelabuhan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan anggaran dan kualitas yang dikehendaki oleh pemberi pekerjaan. Tabel 1. Spesifikasi Tenaga Ahli (Sumber : Dokumen Pilihan Perencanaan SID dan DED Pelabuhan Pelauw 2015)
No
1
2
Klasifikasi
Team Leader/Tenaga Ahli Perencanaan Pelabuhan Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
Kualifikasi/Pengalaman Profesional Minimal S2 Teknik Sipil/Transportasi berpengalaman minimal 2 tahun dalam Perencanaan Pelabuhan, mampu memimpin dan bekerjasama dalam tim Minimal S1 Ekonomi Pembangunan dengan pengalaman minimal 5 tahun dalam kajian aspek ekonomi
Waktu Penugas an (Bulan)
3
3
Jumlah (Orang)
1
1
3
Ahli Geologi/ Soil Engineer
4
Ahli Geodesi/ Hidrografi
5
Ahli Cost Estimator
pembangunan kawasan pelabuhan Minimal S1 Teknik Sipil/Geologi dengan pengalaman minimal 5 tahun dalam bidang geologi. Minimal S1 Geodesi dengan pengalaman minimal 5 tahun dalam bidang Geodesi Minimal S1 Teknik Sipil dengan pengalaman minimal 5 tahun dalam bidang pekerjaan identifikasi dan evaluasi data bangunan dan perhitungan volume dan biaya pekerjaan perencanaan.
3
1
2
1
2
1
Sesuai dengan bidang keahliannya, bertanggung jawab dalam pelaksanaan pekerjaan sejak awal penugasan hingga hasil pekerjaan diterima dengan baik oleh pemberi pekerjaan khususnya pengukuran Topografi yang dilakukan pada lokasi sekitar rencana pelabuhan dan bertujuan untuk mendapatkan peta situasi wilayah daratan pada lokasi rencana pembangunan pelabuhan dan pengukuran Bathimetri wilayah perairan lokasi pelabuhan. Pada pekerjaan pelabuhan, surveyor geodesi akan melakukan survei pendahuluan (Reconnaissance Survey) Konsultan harus melaksanakan peninjauan/survey pendahuluan guna melakukan observasi dan penggalian data secara lebih mendalam terhadap wilayah perencanaan, khususnya lokasi rencana pembangunan pelabuhan. Dalam survey pendahuluan ini harus meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Wawancara/diskusi mendalam dengan berbagai pihak terkait. b. Survey permintaan dan potensi pengembangan jasa kapal. c. Pengamatan aspek teknis lokasi rencana pembangunan pelabuhan (topografi, ketersediaan lahan, kondisi cuaca, arah dan kecepatan angin, ketersediaan bahan konstruksi, dan lainlain). d. Pengamatan aspek operasional pelabuhan, jalur pelayaran, kebutuhan peralatan SBNP dan lain-lain). e. Pengamatan aspek pembiayaan pembangunan (lahan, bahan baku konstruksi, pelaksanaan konstruksi, tenaga kerja, dan lainlain). f. Pengumpulan data sekunder yang belum didapatkan pada tahap inventarisasi data pada awal kegiatan. Setelah dilakukan telaah awal dan survey pendahuluan (reconnaisance survey), selanjutnya Konsultan harus melakukan Survey Lapangan, yang terdiri dari beberapa kegiatan antara lain :
a. Survey Topografi Survey ini bertujuan untuk mendapatkan peta situasi wilayah daratan pada lokasi rencana pembangunan pelabuhan. b. Survey Bathimetri bertujuan untuk mendapatkan peta situasi wilayah perairan pada lokasi rencana pembangunan pelabuhan. Lingkup pengukuran bathimetri c. Survey Hidro-Oseanografi Pengamatan Pasang Surut Pengamatan pergerakan pasang surut adalah untuk menentukan kedudukan air tertinggi, duduk tengah dan air terendah yang dicapai maupun kedudukan LWS. Pengkuran Arus Laut Pengataman kecepatan dan arah arus laut yang dilakukan pada lokasi pelabuhan. Pengukuran Arus Sungai Apabila di sekitar pelabuhan terdapat sungai yang bermuara ke laut, maka harus dilakukan pengukuran kecepatan arus sungai. Pengukuran Sedimen Suspense dan Sedimen Dasar pada lokasi pelabuhan. Seperti yang telah dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 2011 tentang informasi geospasial, bahwa agar informasi geospasial dapat terselenggara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan survei pemetaan memiliki standar-standar dan aturan tertentu yang harus dipatuhi. Khususnya dalam aktivitas perencanaan pelabuhan, pelaksanaan survei harus tetap berpedoman pada Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti SNI Jaring Kontrol Horizontal (JKH), dan SNI Jaring Kontrol Vertikal (JKV). E. SPESIFIKASI TEKNIS Ketentuan-ketentuan survey dan pengukuran : 1. Survey Topografi Pengukuran Topografi dilakukan pada lokasi sekitar wilayah pelabuhan eksisting dan bertujuan untuk mendapatkan peta situasi wilayah daratan pada lokasi pengembangan pelabuhan. Lingkup pengukuran topografi meliputi : a. Pengukuran dengan menggunakan sistem triangulasi. 1) Dipakai titik BM sebagai Basis dengan mencari BM yang telah ada atau membuat sendiri BM untuk orde 1 sesuai dengan SNI Jaring Kontrol Horizontal.
Gambar 2. Spesifikasi patok BM menurut SNI JKH (Sumber: SNI JKH)
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GPS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun, GPS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi. Pada survei GPS, proses penentuan koordinat dari titiktitik dalam suatu jaringan pada dasarnya terdiri atas tiga tahap, yaitu : • Pengolahan data dari setiap baseline dalam jaringan, • Perataan jaringan yang melibatkan semua baseline untuk menentukan koordinat dari titik-titik dalam jaringan, dan • Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS84 ke datum yang diperlukan oleh pengguna. Penentuan posisi dengan GNSS. Prinsip penentuan posisi dengan GNSS adalah pengikatan ke belakang dengan mengukur jarak dari beberapa satelit yang diketahui
posisinya sehingga posisi pengamat dapat dihitung. Penentuan posisi dengan teknologi GNSS menghasilkan koordinat dalam sistem koordinat geodetik (φ, λ, h), koordinat kartesi tiga dimensi (X,Y,Z) dan parameter waktu. Semakin banyak satelit yang dapat diamati maka hasil pengukuran memiliki akurasi yang semakin tinggi. Penetuan posisi dengan teknologi GPS dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode absolut dan metode relatif. (Sunantyo, 1999). Metode absolut (absolute positioning) Dalam penentuan posisi dengan metode absolut, posisi dapat diketahui melalui pengikatan ke belakang (reseksi) dengan perhitungan jarak, melalui pengamatan secara simultan terhadap minimal empat satelit yang diketahui koordinatnya. Metode reseksi ini menghasilkan nilai tiga parameter posisi dan satu parameter waktu. Metode relatif (relative/differential positioning) Penentuan posisi differensial atau penentuan posisi secara relatif adalah penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan, yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya dua buah receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik), dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi (Abidin, 2003). Pada penentuan posisi ini, dilakukan pengurangan data yang diamati oleh dua receiver yang mengamat satelit secara simultan (waktu pengamatan sama). Pengurangan (differencing) ini bertujuan untuk mereduksi atau mengeliminasi efek kesalahan dan bias. Kesalahan yang dapat dihilangkan adalah kesalahan akipat perbedaan antara jam receiver dan jam satelit. Kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat direduksi, sedangkan efek multipath tidak dapat direduksi.
Gambar 3. Differential positioning (Wibowo, 2013)
2) Pengukuran Jarak Basis dengan alat elektronik atau optis (Total Station).
Gambar 4. Alat Ukur Total Station (Sumber Trimble.com)
3) Pengukuran sudut dilakukan dengan 4 (empat) seri biasa-luar biasa. Selisih sudut antara tiap bacaan titik boleh lebih dari pada 10 (sepuluh) detik.
Gambar 5. Ilustrasi pengukuran sudut (Sumber: Anonim)
Rumus: β(B )+ β (B) β= ..................................................................(1) 2 β(B )=R2 ( B)−R 1( B ) .............................................................(2) β(LB) =R 2 (LB ) −R 1 (LB ) ..........................................................(3) b. Pengukuran Poligon Menurut SNI JKH metode pengukuran poligon adalah metode penentuan posisi dua dimensi secara terestris dari rangkaian titik-titik yang membentuk poligon, yang koordinat titik-titik (X,Y) atau (E,N), ditentukan berdasarkan pengamatatan sudut-sudut horizontal di titik-titik poligon serta jarak horizontal antar titik yang berdampingan. Spesifikasi teknis pengukuran poligon menurut SNI JKH dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi teknis metode dan strategi pengamatan jaring titik kontrol geodetik Orde-4/poligon (Sumber: SNI JKH)
1) Untuk pekerjaan Pelabuhan Haita Namalatu, pengukuran poligon sepanjang titik-titik poligon dengan jarak antara titik-titik poligon maksimum 50 m dan radius survei dari tiap poligon adalah 75 m.
2) Pengukuran harus dimulai dari titik ikat awal dan pengukuran poligon harus tertutup (dimulai dari titik ikat awal dan berakhir pada titik yang sama atau ditutup pada titik lain yang sudah diketahui koordinatnya, sehingga kesalahan-kesalahan sudut maupun jarak dapat dikontrol). Pada metode poligon, penentuan koordinat horizontal titik didasarkan pada rumus dasar berikut (Gambar 5).
Gambar 6. Prinsip dasar penentuan koordinat (SNI JKH)
Keterangan Gambar 5: dij = jarak antara titik i dan j, dan Aij = sudut jurusan sisi ij Rumus: X j=X i + dij .sin Aij ...........................................................(4) Y j =Y i+ d ij . cos Aij ...........................................................(5) c. Pengukuran Sipat Dasar 1) Pengukuran sipat datar dilakukan sepanjang titik-titik poligon dan diikatkan pada bench mark. 2) Pengukuran sipat datar dari bench mark ke Bench mark dengan alat water dilakukan dengan teliti, dengan kesalahan penutup tidak boleh lebih dari (3 Vd) mm dimana d = jarak jalur pengukuran (dalam km). 3) Semua ketinggian harus menggunakan sistem tinggi orthometrik (referensi geoid/Mean Sea Level). Geoid disebut sebagai model bumi yang mendekati sesungguhnya. Lebih jauh geoid dapat didefinisikan sebagai bidang ekipotensial yang berimpit dengan permukaan laut pada saat keadaan tenang dan tanpa gangguan , karena itu secara praktis geoid dianggap berhimpit dengan permukaan laut rata-rata (Mean sea level-MSL). Jarak geoid terhadap ellipsoid disebut Undulasi geoid (N). Nilai dari undulasi geoid tidak sama di semua tempat, hal ini disebabkan ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi.
Gambar 7. Sistem tinggi pada elipsoid dan geoid (Sumber: esri.com)
4) Pengukuran sipat datar dilakukan dengan cara double stand (pulang pergi). Selisih bacaan setiap stand maksimum 2 mm dan selisih hasil ukuran total antara pergi dan pulang tidak boleh dari (8 Vd) mm dimana d= Jarak jalur pengukuran (dalam km). d. Pengukuran Situasi dan Detail 1) Bangunan-bangunan yang penting dan berkaitan dengan studi harus diambil posisinya. 2) Setiap ujung dermaga eksisting (bila ada) harus diambil posisinya dan jarak antara ujung-ujung dermaga yang bersebelahan juga harus diukur (guna pengecekan). e. Metode Pemetaan Mengacu pada Perka SRGI 2013, bahwa teknologi penentuan posisi berbasis satelit telah memungkinkan digunakan untuk penyelenggaraan kerangka referensi koordinat nasional yang terintegrasi dengan sistem referensi geospasial global; Oleh karena itu dilakukan pemetaan /penyelenggaraan informasi geospasial dengan aturan tersebut. Penyelenggaraan peta topografi dan bathimetri disajikan dalam lintang/bujur (apabila didapatkan BM berkoordinat geografis) dibuat dengan Ketentuan : 1) Datum Geodetik: World Geodetic System (WGS) 1984. Datum ini merupakan datum yang digunakan untuk sistem GPS/GNSS yang memiliki parameter seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter elipsoid WGS 84 (Nima, 2000)
2) Proyeksi : Transverse Mercator. Karakteristik sistem proyeksi Transverse Mercator: Konform Bidang proyeksi silinder dengan orientasi transversal (tegak lurus sumbu putar bumi) Tidak ada perubahan skala di meridian sentral Titik "nol" sumbu y dari sistem koordinat peta terletak pada garis ekuator Titik "nol" sumbu x dari sistem koordinat peta terletak pada garis meridian sentral
Gambar 8. Ilustrasi proyeksi Transverse Mercator (Sumber: geodesy.gd.itb.ac.id)
Dalam hal ini akan diturunkan fungsi untuk memetakan dari (φ,λ) ke koordinat proyeksi (x,y): x+ iy=f ( λ+ iφ) ..............................................................(6)
Keterangan: x : koordinat di sumbu x
y : koordinat di sumbu y λ : bujur φ : lintang 3) Skala peta : untuk kolam pelabuhan 1 : 2.500, untuk alur pelayaran 1 : 5.000 4) Meridian utama yang dipakai adalah Jakarta baru. 5) Dalam hal tidak didapatkan titik tetap, koordinat geografis bisa menggunakan system local (X,Y) atau UTM (dengan persetujuan Pengguna jasa). 6) Peta menggunakan kertas ukuran A1 dan bila luas daerah yang disurvey melebihi ukuran di atas, peta dibagi dalam beberapa lembar. Peta harus dibuat dengan skala besar yang memperlihatkan area survey secara keseluruhan. 7) Peta bathimetri dan topografi dibuat di atas kertas kalkir dengan posisi selalu menghadap Utara. 8) Penulisan angka-angka kedalaman pada masing-masing jalur maksimum 10 cm untuk skala 1 : 1.000 dan maksimum 25 cm untuk skala 1:2.500 f. Survey Bathimetri Pengukuran Bathimetri dengan luasan yang disesuaikan dengan kondisi perairan pelabuhan eksisting atau paling tidak sampai pada kedalaman -20 LWS, bertujuan untuk mendapatkan peta situasi wilayah perairan. Lingkup pengukuran bathimetri meliputi : 1) Koordinat titik-titik dalam peta bathimetri harus menggunakan koordinat geografis (disarankan menggunakan GPS), atau dapat menggunakan Koordinat local (x,y) atau UTM (dengan persetujuan pengguna Jasa). 2) Pengukuran-pengukuran sudut dalam penentuan titik referensi dan beacon maupun azimuth menggunakan theodolit Wild T2. 3) Kedalaman diukur dengan alat perum gema (mapsounder) dengan ketelitian yang tinggi dan telah mendapat persetujuan dari pengguna jasa.
Gambar 9. Ilustrasi pengukuran batimetri dengan echosounder/mapsounder (Sumber: www.dosits.org)
4) Setiap hari penyedia jasa konsultansi harus melakukan bar-check terhadap alat perum yang dipakai sebelum dan sesudah pekerjaan sounding. Salah satu hasil bar-check dilampirkan dalam laporan. 5) Bidang surutan yang dipakai adalah 0,00 m-LWS. 6) Posisi Pemeruman Posisi sounding ditentukan dengan salah satu dari caracara sebagai berikut : a) Cara Snelius dengan menggunakan 2 buah sextant Dalam laporan antara harus dilampirkan data-data lapangan dengan urutan sebagai berikut : 1. Titik-titik yang dipakai dan rencana lembarlembar busur (arch-sheet). 2. Perhitungan lembar-lembar busur yang sudah dicek. 3. Daftar seluruh pasangan sudut dari tiap posisi fixed sounding. b) Cara perpotongan dua jarak dengan menggunakan alat elektronik (MRS III dan sejenisnya) c) Cara gabungan jalur arah dan ajarak dengan menggunakan pengukur sudut elektronik. d) Menggunakan alat positioning dengan GPS 7) Bila terdapat areal di dekat garis pantai yang tidak dapat di sounding, maka kedalamannya harus diukur dengan bandul pengukur hand-load atau disipat datar (Levelling) dari darat. 8) Selama pekerjaan sounding, kecepatan kapal harus tetap dipertahankan konstan (maksimum 4 knot) dan berada dalam satu jalur, dengan posisi echosounder tetap diaktifkan.
9) Haluan pemeruman diusahakan tegak lurus pantai dengan interval lintasan maksimal 50 m, sedangkan untuk pengontrolan kedalaman pada jalur sounding dilakukan dengan cara sounding silang sejajar pantai dengan interval lintasan sekitar 150 atau minimal 3 lajur. 10) Sounding ke arah laut dilakukan sampai mencapai kedalaman -20 meter (atau disesuaikan dengan draft kapal maksimum yang akan dilayani pelabuhan bersangkutan) 11) Hasil sounding, dikoreksi dengan fluktuasi muka air akibat adanya pasang surut air laut 12) Hasil pengukuran bathimetri diikat dengan hasil pengukuran topografi dengan titik acuan pada BM yang sama.
Gambar 10. Contoh peta batimetri yang dihasilkan melalui pengukuran (Satriadi, 2012)
g. Survey Hidro-Oseanografi 1) Pengamatan Pasang Surut a. Maksud pengamatan pergerakan pasang surut adalah untuk menentukan kedudukan air tertinggi, duduk tengah dan air terendah yang dicapai maupun kedudukan LWS. Pasang surut adalah fluktuasi (gerakan naik turunnya) muka air laut secara berirama karena adanya gaya tarik benda-benda di lagit, terutama bulan dan matahari terhadap massa air laut di bumi.(Triatmodjo, 1999). Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik
dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Menurut Dronkers (1964), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu : 1. Pasang surut diurnal yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar katulistiwa. 2. Pasang surut semi diurnal yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya. 3. Pasang surut campuran yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal. Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 tipe yaitu: 1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide), merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. Ini terdapat di Selat Karimata.
Gambar 11. Pola gerak pasut harian tunggal (diurnal tide) (Malik, 2007)
2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide), merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari. Ini terjadi di Selat Malaka dan Laut Andaman.
Gambar 12. Pola gerak pasut harian ganda (semi diurnal tide) (Malik, 2007)
3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevalling Diurnal), merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu. Ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
Gambar 13. Pola gerak pasut harian campuran condong harian tunggal (Malik, 2007)
4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal), merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu berbeda. Ini terjadi di Pantai Selatan Jawa dan Bagian Timur Indonesia.
Gambar 14. Pola gerak pasut harian campuran condong harian ganda (Malik, 2007)
b. Pengamatan/pencatatan pergerakan muka air dilakukan minimum selama 15 hari terus menerus menggunakan alat pencatat otomatis (automatic tide gauge) atau dengan pembacaan papan duga dengan interval 1 jam. Pencatatan dimulai pukul
00.00 waktu setempat pada hari pertama dan terakhir pada pukul 24.00 hari ke-15 (atau 24 jam x 15 hari) c. Pada saat pengukuran batimetri, pencatatan elevasi muka air akibat pasang surut dilakukan dengan interval 10 menit. d. Untuk perhitungan-perhitungan konstanta harmonis, duduk tengah, air tinggi yang dapat dicapai maupun LWS mempergunakan metode iralty. e. Data hasil perhitungan dengan metode iralty harus dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan metode least Square atau Kuadrat Terkecil. Metode iralty merupakan metode yang digunakan menghitung konstanta pasang surut harmonik dari pengamatan ketinggian air laut tiap jam selama 29 piantan (29 hari). Metode ini digunakan untuk menentukan Muka Air Laut Rerata (MLR) harian, bulanan, tahunan atau lainya (Suyarso, 1989). Metode iralty adalah metode perhitungan pasang surut yang digunakan untuk menghitung dua konstanta harmonik yaitu amplitudo dan keterlambatan phasa. Proses perhitungan metode iralty dihitung dengan bantuan tabel, dimana untuk waktu pengamatan yang tidak ditabelkan harus dilakukan pendekatan dan interpolasi dengan bantuan tabel. Hitung perataan kuadrat terkecil dimaksudkan untuk mendapatkan harga estimasi dari suatu parameter yang paling mendekati harga yang sebenarnya dengan cara menentukan besaran yang tidak diketahui (parameter) dari sekumpulan data ukuran yang mempunyai pengamatan lebih. Penyelesaian hitung kuadrat terkecil dilakukan dengan mencari suatu nilai akhir yang unik dengan cara tertentu sehingga jumlah kuadrat residualnya (VTPV) minimum, sehingga tidak mungkin ada nilai hasil hitungan lain yang jumlah kuadrat residualnya (VTPV) lebih kecil (Hadiman, 1991). Nilai parameter yang diperoleh dengan hitung perataan sebenarnya merupakan nilai estimasi terhadap nilai benar atau representasi dari nilai terbaik. Prinsip hitung perataan adalah adanya ukuran lebih atau derajat kebebasan. Persamaan untuk menghitung derajat kebebasan (r) adalah:
r=n−u ................................................................(7) Keterangan: r : derajat kebebasan n : jumlah pengukuran u : jumlah parameter yang akan dicari f. Elevasi LWS harus dipindahkan ke bangunan gudang atau dermaga dan atau BM yang dibuat yang ada pada bagian yang aman, terlindungi dan mudah terlihat. 2) Pengkuran Arus Laut a. Pengalaman kecepatan dan arah arus dilakukan minimal pada 2 lokasi b. Pengamatan dilakukan selama 25 jam terus menerus dengan interval waktu 30 menit, menggunakan alat current meter dan floater yang dilakukan pada saat pasang tertinggi (Spring Tide) dan pada saat pasangan terendah (Neap Tide) pada bulan yang sama.
Gambar 15. Pengukuran arus dengan current meter (Sumber www.usbr.gov)
b. Posisi pengamatan arus adalah 2,2d; 0,6d; dan 0,6d dari permukaan air, dimana d = kedalaman di lokasi pengamatan arus.
c. Lokasi pengamatan diplotkan dalam peta bathimetri dan hasil pengamatan arus dilampirkan pada laporan dalam bentuk : Grafik hubungan antara pergerakan pasang surut dan kecepatan arus Peta arah aru Pengukuran Arus Sungai F. PEKERJAAN DED Setelah pekerjaan survei dilakukan sesuai dengan spesifikasi di atas, maka selanjutnya hasil survei diolah hinga dapat dijadikan acuan yang berkualitas baik dan tepat dalam fungsinya untuk menjadi dasar perencanaan sebuah rekayasa (pelabuhan). Tenaga ahli arsitektur dan sipil akan menggunakan data hasil survei untuk merancang pelabuhan yang dikehendaki, tentu dengan pertimbangan aspek lain seperti lingkungan dan ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Hasil akhir dari kegiatan survei perencanaan ini adalah tersedianya Detail Engineering Design yang digunakan hingga tahapan konstruksi. Tahapan ini akan membutuhkan kembali tenaga ahli geodesi untuk melakukan staking out data yang masih dalam rancangan, ke atas dunia nyata (permukaan bumi). G. REFERENSI Dronkers, J. J. 1964. Tidal Computations in rivers and coastal waters. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. Krakiwsky, Conformal Map Projections in Geodesy, Lecture notes, University of New Brunswick, 1973. Malik, abdul. 2008. Pasang Surut.www.Google. Slide Share. Net. diakses pada tanggal 10 September 2013 pukul 3.00 WIB. Satriadi, A. 2012. Studi Batimetri dan Jenis Sedimen Dasar Laut dI Perairan Marina, Semarang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina. Universitas Diponegoro, Semarang. Standar Nasional Indonesia. 2002. Jaring Kontrol Horizontal. Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 2004. Jaring Kontrol Vertikal. Badan Standardisasi Nasional. Suyarso, O.1989. Pasang Surut. LIPI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta 255 halaman. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.Hal 99-101
Triatmodjo, Bambang. 2012. Perencanaan Bangunan Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013. Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report Vol. 2 Scripps, Institute Oceanography, California. http://geodesy.gd.itb.ac.id/wedyanto/wpcontent/s/2012/01/kuliah-ihg2-7b.pdf