LANGGAM langgam/lang·gam/ n 1) gaya; model; cara: -- permainannya khas, sukar ditiru orang lain; 2) adat atau kebiasaan: -- orang di daerah itu kalau berkata dgn suara keras, tetapi hatinya baik dan suka berterus terang; 3) bentuk irama lagu (nyanyian): penyanyi lagu pop belum tentu dapat menyanyikan lagu –
Langgam Jawa merupakan bentuk adaptasi musik keroncong ke dalam idiom musik tradisional Jawa, khususnya gamelan. Genre ini masih dapat digolongkan sebagai keroncong. Tokoh-tokoh musik ini di antaranya Andjar Any, Gesang, dan Ki Narto Sabdo. Penyanyi yang dapat disebut legendaris dari genre musik ini adalah Waljinah. Beberapa lagu langgam Jawa sangat popular dan dikenal hampir setiap orang di wilayah berbahasa Jawa, seperti
Gambang Suling (ciptaan Ki Narto Sabdo)
Yen Ing Tawang (ciptaan Andjar Any)
Caping Gunung (ciptaan Gesang, 1973)
Jenang Gula (ciptaan Andjar Any)
Jangkrik Genggong (ciptaan Andjar Any)
Pamitan (ciptaan Gesang)
Aja Lamis (ciptaan Gesang).
Saat ini langgam Jawa mengalami kebangkitan kembali dalam bentuk campursari.
KERONCONG Keroncong merupakan nama dari instrumen musik sejenis ukulele dan juga sebagai nama dari jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik keroncong, flute, dan seorang penyanyi wanita. Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya grup musik Beatles dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang. Masa keroncong modern (1960-2000) Perkembangan keroncong masih di daerah Solo dan sekitarnya, namun muncul berbagai gaya baru yang berbeda dengan Masa Keroncong Abadi (termasuk musisinya), dan merupakan pembaruan sesuai dengan lingkungannya. Mulai Masa keroncong modern (1960-2000) semua aturan baku (pakem) Musik Keroncong tidak berlaku, karena mengikuti aturan baku (pakem) Musik Pop yang berlaku universal, misalnya tangga nada minor, moda pentatonis Jawa/Cina, rangkaian harmoni diatonik dan kromatik, akord disonan, sifat politonal atau atonal (pada campursari), tidak megenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul, ada irama nuansa dangdut (congdut), mulai tahun 1998 musik rap mulai masuk (Bondan Prakoso), dlsb.
CAMPURSARI Istilah campursari dalam dunia musik nasional Indonesia mengacu pada campuran (crossover) beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Nama campursari diambil dari bahasa Jawa yang sebenarnya bersifat umum. Musik campursari di wilayah Jawa bagian tengah hingga timur khususnya terkait dengan modifikasi alat-alat musik gamelan sehingga dapat dikombinasi dengan instrumen musik barat, atau sebaliknya. Dalam kenyataannya, instrumen-instrumen 'asing' ini 'tunduk' pada pakem musik yang disukai masyarakat setempat: langgam Jawa dan gending. Campursari pertama kali dipopulerkan oleh Manthous dengan memasukkan keyboard ke dalam orkestrasi gamelan pada sekitar akhir dekade 1980-an melalui kelompok gamelan "Maju Lancar". Kemudian secara pesat masuk unsur-unsur baru seperti langgam Jawa (keroncong) serta akhirnya dangdut. Pada dekade 2000-an telah dikenal bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong (misalnya Kena Goda dari Nurhana), campuran gamelan dan dangdut, serta campuran keroncong dan dangdut (congdut, populer dari lagu-lagu Didi Kempot). Meskipun perkembangan campursari banyak dikritik oleh para pendukung kemurnian aliran-aliran musik ini, semua pihak sepakat bahwa campursari merevitalisasi musikmusik tradisional di wilayah tanah Jawa. Munculnya musik campursari pada awalnya berangkat dari musik keroncong asli langgam, tapi campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan, ada yang cenderung ke keroncong. Campursari diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung.
Langgam Jawa – keroncong - campursari Bentuk adaptasi keroncong terhadap tradisi musik gamelan dikenal sebagai langgam Jawa, yang berbeda dari langgam yang dimaksud di sini. Langgam Jawa memiliki ciri khusus pada penambahan instrumen antara lain siter, kendang (bisa diwakili dengan modifikasi permainan cello ala kendang), saron, dan adanya bawa atau suluk berupa introduksi vokal tanpa instrumen untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh. Tahun 1968 Langgam Jawa berkembang menjadi Campursari. Umumnya mempunyai struktur lagu pop yaitu A - A - B - A atau juga A - B - C - D dangan jumlah 32 birama. Lagu Langgam Jawa yang terkenal pada tahun 1958 adalah ciptaan Anjar Any (1936-2008): Yen Ing Tawang Ana Lintang (Tawang dalam Bahasa Jawa berarti: awang-awang, langit, dan makna lain nama suatu desa di Magetan, Kalau di Langit Ada Bintang). Langgam Jawa menjadi terkenal oleh Waljinah yang pernah sebagai juara tingkat sekolah SMP di RRI Solo tahun 1958. Pada tahun sekitar 1968 di daerah Gunung Kidul Yogyakarta musisi Manthous memperkenalkan apa yang disebut CAMPURSARI, yaitu keroncong dengan gamelan dan kendang. Selain itu juga dipakai instrumen elektronik seperti bass guitar, electric bass, organ, sampai juga dengan saxophon dan trompet. Musisi yang gencar memainkan Campursari adalah Didi Kempot: Stasiun Balapan, Tanjung Emas, Terminal Tirtonadi, dsb.
SKEMA HUBUNGAN ANTARA TIGA JENIS MUSIK DI ATAS Langgam Jawa – keroncong – campursari
keronco ng
Langgam jawa
Gamelan, sejenisnya seperti alat music jawa lainya
campurs ari
Dangdut, pop, gamelan, kendang,bass, gitar, dan alat music modern
NB : Perbedaan diantara ketiganya ada pada jenis, aliran dan alat music yang digunakan. Pada dasarnya ketigganay saling berkaitan.
SINDEN / Pesindhen / Nyinden Pesindhén, atau sindhén (dari Bahasa Jawa) adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Nyinden adalah suatu kegiatan khas Indonesia, yang nyanyiannya dan iringan musiknya juga khas Indonesia. Pesindén yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang. Pesinden juga sering disebut sinden, menurut Ki Mujoko Joko Raharjo berasal dari kata "pasindhian" yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana "wara" berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan "anggana" berarti sendiri. Pada zaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing/lagu yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang. Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler. Sinden dalam pagelaran Wayang menurut M. A. Salmun (1942:42) kalau diibaratkan sama dengan tangan kiri Dalang dan tangan kanannya adalah Dalang itu sendiri. Wayang yang dahulu hanya memuat lakon saja, Sekarang sudah berubah dengan adanya seorang Sinden sebagai penarik perhatian penonton. Tugas Sinden pada pertunjukan pada pertunjukan Wayang: menurut Atik Soepandi yaitu: “ sebagai penunjang terhadap pementasan Wayang terutama untuk membantu menjelaskan tentang keadaan adegan lewat lirik lagu, juga menunjang situasi jiwa suatu karakter wayang melalui alur dan lirik lagu”. Sedangkan Menurut Iyar Wiarsih yaitu: “untuk mendukung kebutuhan adegan, seperti syair, irama, lagu, harus sesuai dengan situasi misalnya: suasana sedih, gembira, dan romantis. Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan Sinden pada pertunjukan Wayang adalah sebagai pendukung suasana dan sebagai pendukung alur ceritanya. Selain kualitas membawakan lagu, tugas terpenting yang harus dilakukan oleh sinden yaitu lagulagu yang dibawakannya mendukung dan sesuai dengan jalan cerita yang disajikan oleh dalang.
Setiap Vokal Kapesindenan mempunyai ciri khas masing-masing. Oleh karena itu, walaupun lagu yang dimainkan sama, satu sama lain akan berbeda dalam hal penempatan ornamentasi. Perbedaan ornamentasi demikian akan memungkinkan timbulnya gaya mandiri dalam menggunakan senggol (gaya nyayian), irama lagu pada masing-masing Vokal Kapesindenan. Di dalam Vokal Kapesindenan, terdapat beberapa ornamen, beberapa teknik vokal menurut Skripsi Suci Apriliani diantaranya adalah: – Eluk tungtung, yaitu tehnik menyuarakan yang diletakan di akhir frase lagu dengan cara menaikan satu nada dari nada asal. – Ngolembar, adalah tehnik menyuarakan yang diletakan di akhir frase lagu dengan cara menurunkan satu nada dari nada awal. – Geregel, adalah tehnik menyuarakan yang diletakan pada nada-nada yang dibutuhkan, dengan cara menggetarkan tenggorokan dalam tempo yang cepat selama dua atau tiga kali. – Rontok, yaitu suatu teknik mencuri waktu awal dalam menyajikan suatu melodi, dengan lebih cepat dari yang semestinya, sehingga bagian akhir dari motif melodi yang dimaksud diperpanjang. – Eur-eur, yaitu menekankan suara pada tenggorokan dan dikeluarkan dengan suara ombak dalam tempo yang cepat. – Ombak, prinsipnya sama dengan eur-eur tapi dibawakan dalam tempo yang lambat. – Leotan, yaitu menyatukan dua nada tanpa terputus sehingga terkesan jadi satu engang (suku kata). – Eluk, prinsipnya sama dengan leotan tapi hanya digunakan pada setiap akhir frase lagu. – Gerewel, pada prinsipnya sama dengan teknik geregel tapi pada teknik ini digunakan dari nada rendah pada nada yang tinggi. – Golosor, pada prinsipnya sama dengan geregel tapi hanya dilakukan pada satu arah dari nada tinggi ke nada rendah. – Beubeut, yaitu teknik menyuarakan dengan cara dihentakan. – Besot, yaitu teknik mempersiapkan tenaga untuk mengambil nada yang tinggi.